Sunday, April 17, 2005

Tidak, Bu. Barang Itu Bukan Milik Saya

Meli tak menyangka akan begini jadinya. Ia terus berlari dan berlari,
menghindari kerumunan dan amukan massa di sekitar Jakarta Barat. Dari
kejauhan terlihat jilatan api dari beberapa gedung dan sisa asap
pembakaran mobil. Massa yang beringas - yang entah datang dari mana -
bersorak sorai. Kemudian terdengar suara-suara sumbang penuh
hasutan:"Cari Cina! Cari Cina!"

Beberapa mata mulai memandangnya. Meli bergidik. Beberapa mulai
merasa menemukan sasaran. Meli menatap ke depan. Lengang, tak ada
satu kendaraan pun yang bisa membawanya pergi dari tempat itu.
Cemasnya menjadi-jadi. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Berlari
sekuat-kuatnya? Masuk ke rumah penduduk? Mereka telah menutup pintu
rapat-rapat tampa berani membukanya, setidaknya saat ini. Lalu?
Matanya mulai nanar.

Tiba-tiba di antara bayangan kepulan asap, tampak seorang lelaki tua
lusuh dengan sebuah sepeda kusam tua, menghampirinya. "Ibu Cina, ya!
Ibu mau kemana? Cepat naik ke sepeda saya, Bu! Cepat!!"
"Ojek sepeda ya.... Pak?"
Bapak dengan baju tambalan di sana sini itu mengangguk pelan.
Tanpa berpikir panjang, Meli segera naik ke atas sepeda tersebut. Si
lelaki tua mengayuh sepedanya kuat-kuat disertai peluh bercucuran
yang membasahi bagian punggung bajunya, meninggalkan massa yang
berpesta dalam amukan dan beberapa pasang mata liar yang urung
mengejar mereka.

Sampai di belakang Glodok Plaza, Meli melihat banyak orang mengambil
barang dari dalam toko-toko di sekitar sana. Dengan wajah puas orang-
orang itu mengangkuti televisi, radio, komputer, kulkas sampai mesin
cuci dan lain sebagainya. Meli tak mengerti. Mungkinkah barang-barang
itu diberikan oleh pemiliknya agar toko tersebut tak dibakar? Atau
massa yang menjarahnya? Beberapa tentara tampak berjaga-jaga, namun
tak melarang siapa pun yang ingin mengambil barang.

Di sudut yang sepi, Meli menyuruh bapak tua itu berhenti.
"Ada apa, Bu?"
"Pak, mendingan Bapak ikut ambil barang-barang itu dulu. Biar
sepedanya saya yang jagain. Itu orang-orang pada ngambil. Ambil dulu,
Pak!" ujar Meli. Hatinya tergetar melihat kemiskinan dan perjuangan
lelaki tua ini untuk menghidupi keluarganya. Ya, apa salahnya ia
menunggu sebentar dan menjaga sepeda ini sementara bapak itu
mengangkuti barang yang bisa dia bawa pulang.

Di luar dugaan, bapak tua itu menggeleng dan tersenyum getir. "Tidak,

Bu. Barang itu bukan milik saya. Bukan barang halal. Saya muslim,
Bu."
Meli tercengang beberapa saat. Benar-benar trenyuh. Orang tak mampu
seperti ini, ternyata punya prinsip hidup yang sangat mulia.
Saat sampai di tujuan, bapak itu hanya meminta ongkos tiga ribu
rupiah, jumlah yang tak berbeda dengan bila tak ada kerusuhan. Meli
memberinya empat ribu, dan bapak tua itu meninggalkannya dengan
riang. "Terimakasih, Bu."

Meli menatap lelaki tua itu hingga menjadi titik di kejauhan. Ia
telah mendapat satu pelajaran yang luar biasa. Bukan dari siapa-
siapa. Hanya dari seorang miskin, seorang muslim, seorang yang
berbeda keyakinan dengan dirinya. Dan dengan bangga, Meli
menceritakannya pada saya.

Sumber: Disadur dari Buku 'Lentera Kehidupan, Cerita Luar Biasa dari
Orang-Orang Biasa' karangan Helvy Tiana Rosa

2 comments:

Anonymous said...

If you are alone, call this number 800-211-9293. Connect with Real Singles from your local area instantly for only $0.99/min with a $4.99 connection fee. A true Match is only one phone call away 800-211-9293. Meet people with common interests and desires now. Check it out. 800-211-9293

Anonymous said...

Dalam...!!!

eRBe © 2010.